SUMBER KONFLIK SOSIAL
Konflik yang terjadi pada manusia bersumber pada berbagai macam sebab.
Begitu beragamnya sumber konflik yang terjadi antar manusia, sehingga
sulit itu untuk dideskripsikan secara jelas dan terperinci sumber dari
konflik. Hal ini dikarenakan sesuatu yang seharusnya bisa menjadi sumber
konflik, tetapi pada kelompok manusia tertentu ternyata tidak menjadi
sumber konflik, demikian halnya sebaliknya. Kadang sesuatu yang sifatnya
sepele bisa menjadi sumber konflik antara manusia. Konflik
dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam
suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah
menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat,
keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciri-ciri
individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar
dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah
mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat
lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat
itu sendiri. Kesimpulannya sumber konflik itu sangat beragam dan kadang
sifatnya tidak rasional. Oleh karena kita tidak bisa menetapkan secara
tegas bahwa yang menjadi sumber konflik adalah sesuatu hal tertentu,
apalagi hanya didasarkan pada hal-hal yang sifatnya rasional. Pada
umumnya penyebab munculnya konflik kepentingan sebagai berikut: (1)
perbedaan kebutuhan, nilai, dan tujuan, (2) langkanya sumber daya
seperti kekuatan, pengaruh, ruang, waktu, uang, popularitas dan posisi,
dan (3) persaingan. Ketika kebutuhan, nilai dan tujuan saling
bertentangan, ketika sejumlah sumber daya menjadi terbatas, dan ketika
persaingan untuk suatu penghargaan serta hak-hak istimewa muncul,
konflik kepentingan akan muncul (Johnson & Johnson, 1991). Menurut
Anoraga (dalam Saputro, 2003) suatu konflik dapat terjadi karena
perbendaan pendapat, salah paham, ada pihak yang dirugikan, dan perasaan
sensitif.
1. Perbedaan pendapat
Suatu konflik yang terjadi karena pebedaan pendapat dimana masing-masing pihak merasa dirinya benar, tidak ada yang mau
mengakui kesalahan, dan apabila perbedaan pendapat tersebut amat tajam
maka dapat menimbulkan rasa kurang enak, ketegangan dan sebagainya.
2. Salah paham
Salah paham merupakan salah satu hal yang dapat menimbulkan konflik.
Misalnya tindakan dari seseorang yang tujuan sebenarnya baik tetapi
diterima sebaliknya oleh individu yang lain.
3. Ada pihak yang dirugikan
Tindakan salah satu pihak mungkin dianggap merugikan yang lain atau
masing-masing pihak merasa dirugikan pihak lain sehingga seseorang yang
dirugikan merasa kurang enak, kurang senang atau bahkan membenci.
4. Perasaan sensitif
Seseorang yang terlalu perasa sehingga sering menyalah artikan tindakan
orang lain. Contoh, mungkin tindakan seseorang wajar, tetapi oleh pihak
lain dianggap merugikan.
Baron & Byrne (dalam Kusnarwatiningsih, 2007) mengemukakan konflik
disebabkan antara lain oleh perebutan sumber daya, pembalasan dendam,
atribusi dan kesalahan dalam berkomunikasi. Sedangkan Soetopo (2001)
juga mengemukakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya
konflik, antara lain: (1) ciri umum dari pihak-pihak yang terlibat dalam
konflik; (2) hubungan pihak-pihak yang mengalami konflik sebelum
terjadi konflik; (3) sifat masalah yang menimbulkan konflik; (4)
lingkungan sosial tempat konflik terjadi; (5) kepentingan pihak-pihak
yang terlibat dalam konflik; (6) strategi yang biasa digunakan
pihak-pihak yang mengalami konflik; (7) konsekuensi konflik terhadap
pihak yang mengalami konflik dan terhadap pihak lain; dan (8) tingkat
kematangan pihak-pihak yang berkonflik. Ada enam kategori penting dari
kondisi-kondisi pemula (antecedent conditions) yang menjadi penyebab
konflik, yaitu: (1) persaingan terhadap sumber-sumber (competition for
resources), (2) ketergantungan pekerjaan (task interdependence), (3)
kekaburan bidang tugas (jurisdictional ambiguity), (4) problem status
(status problem), (5) rintangan komunikasi (communication barriers), dan
(6) sifat-sifat individu (individual traits) (Robbins, Walton &
Dutton dalam Wexley & Yukl, 1988).
Schmuck (dalam Soetopo dan Supriyanto, 1999) mengemukakan bahwa kategori
sumber-sumber konflik ada empat, yaitu (1) adanya perbedaan fungsi
dalam organisasi, (2) adanya pertentangan kekuatan antar orang dan
subsistem, (3) adanya perbedaan peranan, dan (4) adanya tekanan yang
dipaksakan dari luar kepada organisasi.
Sedangkan Handoko (1998) menyatakan bahwa sumber-sumber konflik adalah sebagai berikut.
1. Komunikasi: salah pengertian yang berkenaan dengan kalimat, bahasa yang sulit dimengerti, atau informasi yang mendua dan
tidak lengkap, serta gaya individu manajer yang tidak konsisten.
2. Struktur: pertarungan kekuasaan antar departemen dengan
kepentingan-kepentingan atau sistem penilaian yang bertentangan,
persaingan untuk memperebutkan sumber-sumber daya yang terbatas, atau
saling ketergantungan dua atau lebih kelompok-kelompok kegiatan kerja
untuk mencapai tujuan mereka.
3. Pribadi: ketidaksesuaian tujuan atau nilai-nilai sosial pribadi karyawan dengan perilaku yang diperankan pada jabatan mereka,
dan perbedaan dalam nilai-nilai atau persepsi.
Berbeda pula dengan pendapat Mangkunegara (2001) bahwa penyebab konflik
dalam organisasi adalah: (1) koordinasi kerja yang tidak dilakukan, (2)
ketergantungan dalam pelaksanaan tugas, (3) tugas yang tidak jelas
(tidak ada diskripsi jabatan), (4) perbedaan dalam orientasi kerja, (5)
perbedaan dalam memahami tujuan organisasi, (6) perbedaan persepsi, (7)
sistem kompetensi intensif (reward), dan (8) strategi permotivasian yang
tidak tepat. Berdasarkan beberapa pendapat tentang sumber konflik
sebagaimana dikemukakan oleh beberapa ahli, dapat ditegaskan bahwa
sumber konflik dapat berasal dari dalam dan luar diri individu. Dari
dalam diri individu misalnya adanya perbedaan tujuan, nilai, kebutuhan
serta perasaan yang terlalu sensitif. Dari luar diri individu misalnya
adanya tekanan dari lingkungan, persaingan, serta langkanya sumber daya
yang ada.
1. Faktor Penyebab Konflik
a. Perbedaan individu
Perbedaan kepribadian antar individu bisa menjadi faktor penyebab
terjadinya konflik, biasanya perbedaan individu yang menjadi sumber
konflik adalah perbedaan pendirian dan perasaan. Setiap manusia adalah
individu yang unik, artinya setiap orang memiliki pendirian dan perasaan
yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan
akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor
penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial,
seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika
berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap
warganya akan berbedabeda. Ada yang merasa terganggu karena berisik,
tetapi ada pula yang merasa terhibur.
b. Perbedaan latar belakang kebudayaan
Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi
yang berbeda. Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola
pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang
berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang
dapat memicu konflik.
c. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan
yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing
orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda- beda.
Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan
yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam
hal pemanfaatan hutan.
Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang
menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak
boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai
penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para
pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna
mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta
lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus
dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara
satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik
sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat
pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula
dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu,
misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi
karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan
upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang
besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha
mereka.
d. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika
perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut
dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat
pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan
memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat
tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah
menjadi nilai-nilai masyarakat industri.
Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotong royongan berganti
menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis
pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural
yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan
berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu
yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas
seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri.
Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan
membuat kegoncangan prosesproses sosial di masyarakat, bahkan akan
terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap
mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.
BENTUK KONFLIK SOSIAL
Sasse (1981) mengajukan istilah yang bersinonim maknanya dengan nama
conflict style, yaitu cara orang bersikap ketika menghadapi
pertentangan. Conflict style ini memiliki kaitan dengan kepribadian.
Maka orang yang berbeda akan menggunakan conflict style yang berbeda
pada saat mengalami konflik dengan orang lain. Sedangkan Rubin (dalam
Farida, 1996) menyatakan bahwa konflik timbul dalam berbagai situasi
sosial, baik terjadi dalam diri seseorang individu, antar individu,
kelompok, organisasi maupun antar negara. Ada banyak kemungkinan
menghadapi konflik yang dikenal dengan istilah manajemen konflik.
Konflik yang terjadi pada manusia ada berbagai macam ragamnya,
bentuknya, dan jenisnya. Soetopo (1999) mengklasifikasikan jenis
konflik, dipandang dari segi materinya menjadi empat, yaitu:
1. Konflik tujuan
Konflik tujuan terjadi jika ada dua tujuan atau yang kompetitif bahkan yang kontradiktif.
2. Konflik peranan
Konflik peranan timbul karena manusia memiliki lebih dari satu peranan dan tiap peranan tidak selalu memiliki kepentingan yang
sama.
3. Konflik nilai
Konflik nilai dapat muncul karena pada dasarnya nilai yang dimiliki
setiap individu dalam organisasi tidak sama, sehingga konflik
dapat terjadi antar individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan organisasi.
4. Konflik kebijakan
Konflik kebijakan dapat terjadi karena ada ketidaksetujuan individu atau
kelompok terhadap perbedaan kebijakan yang dikemuka- kan oleh satu
pihak dan kebijakan lainnya.
Konflik dipandang destruktif dan disfungsional bagi individu yang terlibat apabila:
1. Konflik terjadi dalam frekuensi yang tinggi dan menyita sebagian
besar kesempatan individu untuk berinteraksi. Ini menandakan bahwa
problem tidak diselesaikan secara kuat. Sebaliknya, konflik yang
konstruktif terjadi dalam frekuensi yang wajar dan masih memungkinkan
individu-individunya berinteraksi secara harmonis.
2. Konflik diekspresikan dalam bentuk agresi seperti ancaman atau
paksaan dan terjadi pembesaran konflik baik pembesaran masalah yang
menjadi isu konflik maupun peningkatan jumlah individu yang terlibat.
Dalam konflik yang konstruktif isu akan tetap terfokus dan dirundingkan
melalui proses pemecahan masalah yang saling menguntungkan.
3. Konflik berakhir dengan terputusnya interaksi antara pihak-pihak yang
terlibat. Dalam konflik yang konstruktif, kelangsungan hubungan antara
pihak-pihak yang terlibat akan tetap terjaga. Sedangkan Handoko (1984)
membagi konflik menjadi 5 jenis yaitu: (1) konflik dari dalam individu,
(2) konflik antar individu dalam organisasi yang sama, (3) konflik antar
individu dalam kelompok, (4) konflik antara kelompok dalam organisasi,
(5) konflik antar organisasi.
Berbeda dengan pendapat diatas Mulyasa (2003) membagi konflik
berdasarkan tingkatannya menjadi enam yaitu: (1) konflik intrapersonal,
(2) konflik interpersonal, (3) konflik intragroup, (4) konflik
intergroup, (5) konflik intraorganisasi, dan (6) konflik
interorganisasi. Menurut Dahrendorf (1986), konflik dibedakan menjadi 4
macam: (1) konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi),
misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik
peran (role); (2) konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar
keluarga, antar gank); (3) konflik kelompok terorganisir dan tidak
terorganisir (polisi melawan massa); dan (4) konflik antar satuan
nasional (perang saudara). Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai
berikut: (1) meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (in-group)
yang mengalami konflik dengan kelompok lain; (2) keretakan hubungan
antar kelompok yang bertikai; (3) perubahan kepribadian pada individu,
misalnya timbul nya rasa dendam, benci, saling curiga dan sebagainya;
(4) kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia; dan (5) dominasi
bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
Para pakar teori konflik mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik
dapat memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema
dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian
terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan
hipotesa sebagai berikut.
1. Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
2. Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan percobaan untuk “memenangkan” konflik.
3. Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan
percobaan yang memberikan “kemenangan” konflik bagi pihak tersebut.
4. Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk menghindari konflik.
0 komentar:
Posting Komentar