Senin, 21 Januari 2013

Perbedaan Konflik dan Kekerasan





Kekerasan Anak Remaja by ~Zhieskylovers
Kekerasan Anak Remaja by ~Zhieskylovers

Kekerasan kembali menjadi headline news berbagai media massa, hal ini dikarenakan terjadi dua konflik pada tempat yang berbeda namun pada kurun waktu yang tidak jauh berbeda. Yakni konflik antar etnis di Tarakan Kalimantan dan konflik antar kelompok pemuda di jalan Ampera Jakarta. Dua konflik yang memiliki latar belakang permasalahan, locus, dan tempus yang berbeda, namun keduanya menimbulkan kekhawatiran yang sama. Kekhawatiran datang kembalinya era wild – wild west versi Indonesia, dimana semua masalah diselesaikan dengan timah panas dan belati tanpa mendahulukan proses yang seharusnya menjadi ciri utama bangsa Indonesia. Musyawarah.
Untuk mengurai benang kusut mengenai permasalahan konflik kekerasan yang ditakutkan menular ke tempat lain, penulis rasa harus ada persamaan persepsi dahulu mengenai perbedaan antara konflik dan kekerasan. Konflik dapat diartikan sebagai pergesekan kepentingan antara dua orang pihak atau lebih, sedangkan kekerasan adalah suatu perilaku yang bersifat destruktif sehingga menimbulkan kerusakan secara lahir dan batin. Dari dua hal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa konflik merupakan sebuah keniscayaan dalam kehidupan sosial masyarakat, sebab setiap individu memiliki kepentingan yang berbeda. Adapun kekerasan adalah sebuah sikap yang diambil ketika pergesekan kepentingan tersebut terjadi dan cenderung bersifat aksi – reaksi. Dengan kata lain saat suatu pihak memutuskan untuk mengambil jalan kekerasan sebagai penyelesaian pergesekan kepentingan, hal tersebut akan menjadi mata rantai yang tidak pernah habis menyambung atau dengan kata lain kekerasan itu akan terus berlanjut menjadi dendam kesumat dan tidak menutup kemungkinan terus diwariskan pada keturunannya. Aksi – reaksi.
konflik merupakan sebuah keniscayaan dalam kehidupan sosial masyarakat, sebab setiap individu memiliki kepentingan yang berbeda
Oleh karena itu dalam manajemen konflik bukan berarti kita percaya bahwa kita akan terbebas dari pergesekan kepentingan, akan tetapi menjaga pergesekan itu agar tidak ada hak – hak yang dilanggar. Jika menggunakan kekerasan sebagai jalan keluar dari konflik, hal itu akan melanggar hak – hak orang lain, karena efek yang ditimbulkan bersifat destruktif.
Dari sedikit uraian diatas penulis mengambil kesimpulan bahwa inti permasalahan kekerasan yang berkepanjangan ini ialah ketika ada pihak sudah muak dengan negosiasi dalam musyawarah, lalu ketika pihak tersebut merasa tidak ada lagi satupun yang dapat menjadi problem solver bagi konflik kepentingannya tersebut, dan akhirnya memutuskan untuk menyelesaikannya dengan kekerasan. Mari kita telaah satu persatu permasalahannya dan mencari tahu apa das sollen atau aturan yang sebenarnya.
Faktor Pemimpin dan Penegakkan Hukum
pemimpin kelompok yang sedang berkonflik akan memiliki dua pilihan besar, apakah menjadi negosiator atau provokator bagi kelompoknya.
Sama halnya dengan penanganan konflik dalam hubungan antar negara, negosiasi adalah hal yang mutlak harus dilakukan pertama kali. Dalam hal ini yang menjadi sorotan utama adalah pemimpin atau orang yang paling dihormati dalam suatu kelompok (jika dalam konflik antar kelompok), pemimpin tersebut adalah sektor utama yang cenderung akan menjadi panutan bagi kelompok yang dipimpinnya. Jika pemimpin tersebut menyerukan untuk membantai habis pihak lawan yang berkonflik maka yang lainnya pun akan meneriakkan hal yang sama. Adapun jika sang pemimpin memilih jalur damai dan melakukan negosiasi baik dalam bentuk musyawarah atau yang lainnya, maka kelompoknya akan meng-amin-kan perbuatan tersebut. Oleh karena itu pemimpin kelompok yang sedang berkonflik akan memiliki dua pilihan besar, apakah menjadi negosiator atau provokator bagi kelompoknya.
Lalu ketika kita mencari pihak yang paling pantas untuk menjadi problem solver dalam menghadapi suatu konflik bagi mereka adalah para penegak hukum. Hal ini terutama ditujukan kepada Kepolisian Republik Indonesia, karena selain bertugas melakukan penyidikan Polri juga berkewajiban untuk menjaga keamanan masyarakat. Polri harus tepat dalam menempatkan diri diantara pihak yang berkonflik, jangan gegabah dalam bertindak yang akhirnya justru memperkeruh konflik. Banyak pilihan yang bisa diambil Polri dalam penanganan konflik, salah satunya seperti yang sudah disebutkan sebelumnya yakni melibatkan pemimpin kelompok atau dengna kata lain menyelesaikan masalah dengan melibatkan orang yang bermasalah. Adapula dengan system third party dimana Polri menjadi mediator dalam penyelesaian konflik.
ingat jargon Polri “melayani, mengayomi, dan melindungi masyarakat”
Dengan menjadi lembaga yang bebas aktif dalam menyelesaikan masalah, Polri akan mendapatkan trust dari masyarakat sebagai pihak yang dapat menjadi problem solver yang akan menguraikan masalah dan menjebloskan para pihak yang bersalah ke ruang pengadilan untuk diberikan hukuman yang pantas. Sehingga penegakkan hukum akan menjadi kunci yang dapat membuka gembok permasalahan yang selama ini menutup pintu keadilan. Jangan biarkan sikap apatis terhadap kinerja Polri terus menjamur ke masyarakat. Terjun langsung ke konflik – konflik dalam tatanan masyarakat dengan menghilangkan sekat – sekat perbedaan merupakan cara ampuh untuk mengubah persepsi masyarakat dan mengembalikan citra baik Polri. Jangan hanya teroris – teroris yang habis – habisan dibasmi demi nama baik, ingat jargon Polri “melayani, mengayomi, dan melindungi masyarakat”. Jangan sampai itu hanya menjadi kalimat utopis dalam alam mimpi.
Manajemen konflik perlu untuk menjadi concern utama bagi para penegak hukum dan pemerintah, karena bukan tidak mungkin dari hal – hal dianggap sepele seperti ini akan menyebabkan disintegrasi bangsa, terutama yang membawa isu primordial kedaerahan. Ubah cara pandang penanganan konflik agar tidak menjadi kekerasan yang selalu membawa kekalahan bagi siapapun yang berkonflik.

0 komentar:

Posting Komentar