Manusia sebagai makhluk sosial selalu berinteraksi dengan sesama
manusia. Ketika berinteraksi dengan sesama manusia, selalu diwarnai dua
hal, yaitu konflik dan kerjasama. Dengan demikian konflik merupakan
bagian dari kehidupan manusia.
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling
memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses
sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah
satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya
atau membuatnya tidak berdaya. Konflik, dalam kamus besar Bahasa
Indonesia (2002) diartikan sebagai percekcokan, perselisihan, dan
pertentangan. Menurut Kartono & Gulo (1987), konflik berarti
ketidaksepakatan dalam satu pendapat emosi dan tindakan dengan orang
lain. Keadaan mental merupakan hasil impuls-impuls, hasrat-hasrat,
keinginan-keinginan dan sebagainya yang saling bertentangan, namun
bekerja dalam saat yang bersamaan. Konflik biasanya diberi pengertian
sebagai satu bentuk perbedaan atau pertentangan ide, pendapat, faham dan
kepentingan di antara dua pihak atau lebih. Pertentangan ini bisa
berbentuk pertentangan fisik dan non-fisik, yang pada umumnya berkembang
dari pertentangan non-fisik menjadi benturan fisik, yang bisa berkadar
tinggi dalam bentuk kekerasan (violent), bisa juga berkadar rendah yang
tidak menggunakan kekerasan (non-violent).. Fenomena ini termasuk dalam
kategori konflik, walaupun tidak mengarah kepada pertentangan fisik.
Konflik juga dimaknai sebagai suatu proses yang mulai bila satu pihak
merasakan bahwa pihak lain telah mempengaruhi secara negatif, atau akan
segera mempengaruhi secara negatif, sesuatu yang diperhatikan oleh pihak
pertama. Suatu ketidakcocokan belum bisa dikatakan sebagai suatu
konflik bilamana salah satu pihak tidak memahami adanya ketidakcocokan
tersebut (Robbins, 1996).
Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar
anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan
hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik bisa
terjadi karena hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau
kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki tujuan-tujuan yang tidak
sejalan (Fisher, dalam Saputro, 2003). Sedangkan White & Bednar
(1991) mendefinisikan konflik sebagai suatu interaksi antara orang-orang
atau kelompok yang saling bergantung merasakan adanya tujuan yang
saling bertentangan dan saling mengganggu satu sama lain dalam mencapai
tujuan itu. Jika tindakan seseorang individu untuk memenuhi dan
memaksimal kan kebutuhannya menghalangi atau membuat tindakan orang lain
jadi tidak efektif untuk memenuhi dan memaksimalkan kebutuhan orang
tersebut, maka terjadilah konflik kepentingan (conflict of interest)
(Deustch dalam Johnson & Johnson, 1991). Cassel Concise dalam Lacey
(2003) mengemukakan bahwa konflik sebagai “a fight, a collision; a
struggle, a contest; opposition of interest, opinion or purposes; mental
strife, agony”. Pengertian tersebut memberikan penjelasan bahwa konflik
adalah suatu pertarungan, suatu benturan; suatu pergulatan;
pertentangan kepentingan, opini-opini atau tujuan-tujuan; pergulatan
mental, penderitaan batin. Konflik adalah suatu pertentangan yang
terjadi antara apa yang diharapkan oleh seorang terhadap dirinya, orang
lain, orang dengan kenyataan apa yang diharapkan (Mangkunegara, 2001).
Konflik juga merupakan perselisihan atau perjuangan di antara dua pihak
(two parties)yang ditandai dengan menunjukkan permusuhan secara terbuka
dan atau mengganggu dengan sengaja pencapaian tujuan pihak yang menjadi
lawannya (Wexley &Yukl, 1988). Gambar 6.2 di bawah ini adalah salah
satu contoh konflik yang sesuai dengan pendapat di atas, yaitu ketika
apa yang diharapkan oleh suporter persebaya agar kesebelasan
kesayangannya menang tidak terwujud, akibatnya dia melakukan berbagai
tindakan penyerangan kepada siapa saja, termasuk kepada aparat keamanan.
Pertentangan dikatakan sebagai konflik manakala pertentangan itu
bersifat langsung, yakni ditandai interaksi timbal balik di antara
pihakpihak yang bertentangan. Selain itu, pertentangan itu juga
dilakukan atas dasar kesadaran pada masing-masing pihak bahwa mereka
saling berbeda atau berlawanan (Syaifuddin, dalam Soetopo dan
Supriyanto, 2003). Dalam hubungannya dengan pertentangan sebagai
konflik, Marck, Synder dan Gurr membuat kriteria yang menandai suatu
pertentangan sebagai konflik. Pertama, sebuah konflik harus melibatkan
dua atau lebih pihak di dalamnya; Kedua, pihak-pihak tersebut saling
tarik-menarik dalam aksi-aksi saling memusuhi (mutualy opposing
actions); Ketiga, mereka biasanya cenderung menjalankan perilaku koersif
untuk menghadapi dan menghancurkan “sang musuh”. Keempat, interaksi
pertentangan di antara pihak-pihak itu berada dalam keadaan yang tegas,
karena itu keberadaan peristiwa pertentangan itu dapat dideteksi dan
dimufakati dengan mudah oleh para pengamat yang tidak terlibat dalam
pertentangan (Gurr, dalam Soetopo, 2001). Konflik dalam pengertian yang
luas dapat dikatakan sebagai segala bentuk hubungan antar manusia yang
bersifat berlawanan (antagonistik) (Indrawijaya, 1986). Konflik adalah
relasi-relasi psikologis yang antagonis, berkaitan dengan tujuan-tujuan
yang tak bisa dipertemukan, sikap-sikap emosional yang bermusuhan, dan
struktur-struktur nilai yang berbeda. Konflik juga merupakan suatu
interaksi yang antagonis mencakup tingkah laku lahiriah yang tampak
jelas mulai dari bentuk perlawanan halus, terkontrol, tersembunyi, tak
langsung, sampai pada bentuk perlawanan terbuka (Clinton dalam Soetopo
dan Supriyanto, 2003). Konflik dapat dikatakan sebagai suatu oposisi
atau pertentangan pendapat antara orang-orang, kelompok-kelompok,
organisasi-organisasi yang disebabkan oleh adanya berbagai macam
perkembangan dan perubahan dalam bidang manajemen, serta menimbulkan
perbedaan pendapat, keyakinan dan ide (Mulyasa, 2003). Hocker &
Wilmot (1991) memberikan definisi yang cukup luas terhadap konflik
sebagai “an expressed struggle betwen at least two interdependent
parties who perceive incompatibel goal, scarce rewards, and interference
from the other parties in achieving their goals”. Seseorang dikatakan
terlibat konflik dengan pihak lain jika sejumlah ketidaksepakatan muncul
antara keduanya, dan masing-masing menyadari adanya ketidaksepakatan
itu. Jika hanya satu pihak yang merasakan ketidaksetujuan, sedang yang
lain tidak, maka belum bisa dikatakan konflik antara dua pihak. Dengan
kata lain, dua pihak harus menyadari adanya masalah sebelum mereka
berada di dalam konflik. Semua konflik seringkali dipandang sebagai
pencapaian tujuan satu pihak dan merupakan kegagalan pencapaian tujuan
pihak lain. Hal ini karena seringkali orang memandang tujuannya sendiri
secara lebih penting, sehingga meskipun konflik yang ada sebenarnya
merupakan konflik yang kecil, seolah-olah tampak sebagai konflik yang
besar. Konflik muncul diakibatkan salah satunya perebutan sumberdaya.
Misalnya, jika dua orang duduk sebangku dalam kelas, maka bangku itu
menjadi sumberdaya. Apabila salah satu pihak bertingkah laku seakanakan
mau menguasai kamar, pihak lain akan terganggu maka terjadilah konflik
diakibatkan sumberdaya. Pihak-pihak yang berkonflik saling tergantung
satu sama lain, karena kepuasan seseorang tergantung perilaku pihak
lain. Jika kedua pihak merasa tidak perlu untuk menyelesaikan masalah,
maka perpecahan tidak dapat dihindari. Banyak konflik yang tidak
terselesaikan karena masing-masing pihak tidak memahami sifat saling
ketergantungan. Selama ini konflik sering dihubungkan dengan agresi.
Broadman & Horowitz (dalam Kusnarwatiningsih, 2007) menyatakan bahwa
konflik dan agresi merupakan dua hal yang berbeda. Konflik tidak selalu
menghasilkan kerugian, tetapi juga membawa dampak yang konstruktif bagi
pihak-pihak yang terlibat, sedangkan agresi hanya membawa dampak-dampak
yang merugikan bagi individu. Dari keterangan diatas dapat disimpulkan
bahwa konflik adalah suatu pertentangan dalam bentuk-bentuk perlawanan
halus, terkontrol, tersembunyi, tak langsung, sampai pada bentuk
perlawanan terbuka antara dua pihak atau lebih yang saling tergantung
satu sama lain yang sama-sama merasakan tujuan yang saling tidak cocok,
kelangkaan sumber daya dan hambatan yang didapat dari pihak lain dalam
mencapai tujuannya. Tawuran antar pelajar (Gambar 6.3) adalah salah satu
contoh konflik yang sering terjadi di kalangan pelajar.
Konflik pada dasarnya merupakan bagian dari kehidupan sosial, karena
itu tidak ada masyarakat yang steril dari realitas konflik. Coser (1956)
menyatakan: konflik dan konsensus, integrasi dan perpecahan adalah
proses fundamental yang walau dalam porsi dan campuran yang berbeda
merupakan bagian dari setiap sistem sosial yang dapat dimengerti
(Poloma, 1994). Karena konflik merupakan bagian kehidupan sosial, maka
dapat dikatakan konflik sosial merupakan sebuah keniscayaan yang tidak
dapat ditawar. Dahrendorf (1986), membuat 4 postulat yang menunjukkan
keniscayaan itu, yaitu: (1) setiap masyarakat tunduk pada proses
perubahan, perubahan sosial terdapat di manamana; (2) setiap masyarakat
memperlihatkan konflik dan pertentangan, konflik terdapat di mana-mana;
(3) setiap unsur dalam masyarakat memeberikan kontribusi terhadap
desintegrasi dan perubahan; (4) setiap masyarakat dicirikan oleh adanya
penguasaan sejumlah kecil orang terhadap sejumlah besar lainnya. Coser
(1956) mengutip hasil pengamatan Simmel, menunjukkan bahwa konflik
mungkin positif sebab dapat meredakan ketegangan yang terjadi dalam
suatu kelompok dengan memantapkan keutuhan dan keseimbangan. Coser
menyatakan bahwa masyarakat yang terbuka dan berstruktur longgar
membangun benteng untuk membendung tipe konflik yang akan membahayakan
konsensus dasar kelompok itu dari serangan terhadap nilai intinya dengan
membiarkan konflik itu berkembang di sekitar masalah-masalah yang tidak
mendasar (Poloma, 1994). Dengan demikian berarti, konflik yang
menyentuh nilai-nilai inti akan dapat mengubah struktur sosial sedangkan
konflik yang mempertentangkan nilai-nilai yang berada di daerah
pinggiran tidak akan sampai menimbulkan perpecahan yang dapat
membahayakan struktur sosial. Cobb dan Elder (1972) mengungkapkan adanya
tiga dimensi penting dalam konflik politik: (1) luas konflik; (2)
intensitas konflik; dan (3) ketampakan konflik. Luas konflik, menunjuk
pada jumlah perorangan atau kelompok yang terlibat dalam konflik, dan
menunjuk pula pada skala konflik yang terjadi (misalnya: konflik lokal,
konflik etnis, konflik nasional, konflik internasional, konflik agama
dan sebagainya). Intensitas konflik adalah luas-sempitnya komitmen
sosial yang bisa terbangun akibat sebuah konflik. Konflik yang
intensitasnya tinggi adalah konflik yang bisa membangun komitmen sosial
yang luas, sehingga luas konflikpun mengembang. Adapun ketampakan
konflik adalah tingkatan kesadaran dan pengetahuan masyarakat di luar
pihak-pihak yang berkonflik tentang peristiwa konflik yang terjadi.
Sebuah konflik dikatakan memiliki ketampakan yang tinggi manakala
peristiwa konflik itu disadari dan diketahui detail keberadaannya oleh
masyarakat secara luas. Sebaliknya, sebuah konflik memiliki ketampakan
rendah manakala konflik itu terselimuti oleh berbagai hal sehingga
tingkat kesadaran dan pengetahuan masyarakat luas terhadap konflik itu
sangat terbatas. Pandangan tradisional tentang konflik mengandaikan
konflik itu buruk, dipandang secara negatif, dan disinonimkan dengan
istilah kekerasan (violence), destruksi, dan ketidakrasionalan demi
memperkuat konotasi negatifnya. Konflik adalah merugikan, oleh karena
itu harus dihindari (Robbins, 1996). Pandangan pada masa kini melihat
konflik merupakan peristiwa yang wajar dalam kehidupan kelompok dan
organisasi. Dalam interaksi antara manusia, konflik tidak dapat
disingkirkan, tidak terelakkan, bahkan ada kalanya konflik dapat
bermanfaat pada kinerja kelompok. Berdasarkan pendekatan interaksionis
memandang konflik atas dasar bahwa kelompok yang kooperatif, tenang,
damai, dan serasi cenderung menjadi statis, apatis, dan tidak tanggap
terhadap kebutuhan akan perubahan dan inovasi. Oleh karena itu, kaum
interaksionis mendorong pemimpin suatu kelompok apapun untuk
mempertahankan suatu tingkat minimum berkelanjutan dari konflik,
sehingga cukup untuk membuat kelompok itu hidup, kritis-diri dan
kreatif. Perlu ditegaskan, bahwa pendekatan interaksionis tersebut tidak
berarti memandangan semua konflik adalah suatu hal yang baik, tetap
memandang konflik adalah suatu hal yang tidak baik. Kaum interaksional
memandang ada konflik yang mendukung tujuan kelompok dan memperbaiki
kinerja kelompok, biasa disebut dengan konflik fungsional, sedangkan ada
konflik yang menghalangi kinerja kelompok atau yang disebut dengan
konflik disfungsional atau destruktif.
0 komentar:
Posting Komentar